Mas Xavier dari Belgia Melihat Harmonisasi Budaya dan Agama di Kampung Sawah


Namanya Xavier Everaert. Di parlemen Belgia, dia adalah asisten dari anggota parlemen Barbara Kappel. Dia tinggal di wilayah Belgia yang berbahasa Belanda, namun bahasa Prancis nya pun lancar. Kita semua tahu lah, 2 bahasa itu dipakai di Belgia. Xavier, atau Xaverius kalau diindonesiakan, adalah sosok unik, unik banget untuk ukuran orang Eropa Barat. Dia sangaaat relijius.

Siang itu (13/8), Kampung Sawah memang kedatangan rombongan tamu Indonesian-Interfaith Scholarship 2019, Karena waktu tak banyak, mereka hanya kami ajak foto bareng di depan Masjid Al Jauhar, dan Gereja Kristen Pasundan, yang dilanjutkan dengan diskusi intens tentang harmonisasi budaya dan agama di Kampung Sawah. Para tamu yang terdiri dari anggota/asisten anggota parlemen, wartawan, politikus, mahasiswa dari 7 negara Eropa (Inggris, Prancis, Belgia, Hongaria, Italia, Swedia, dan Jerman) tersebut punya pertanyaan yang asyik dan nyerempet2 rawan. Untunglah, bung R Jacob Napiun, dan bang MatheNalih cukup bijak menjawab. Soal mayoritas-minoritas bahkan dijawab gamblang oleh Yai Achmed Al Munawi, "Bagi kami, NU, tidak ada itu mayoritas minoritas. Semua yang menjaga keutuhan NKRI adalah saudara kami."
Tentang jawaban-jawaban kami,saat saya ketemu dengan Philippe Perchoc, seorang analis politik dari Prancis, dia cuma nyengir tipis,"Jawaban kalian terlalu filosofis!" Hehehe

Selepas diskusi yang diselingi ngemil pisang rebus, timus, kacang rebus, kedelai rebus, ubi rebus, kue pisang, dan bir pletok produksi "Mpok Endun", kami foto bareng. Saat acara bebas itulah saya sempet ngobrol tipis dengan mas Xavier, yang terjemahan bebasnya seperti berikut,
"Mas, sampean capek ya keliatannya?" sapa saya.
"Iyo e, capek tapi senang. Wah, tenan lho, orang Indonesia relijius banget! Diskusi tadi perlihatkan orang Indonesia sangat memperhatikan agama!" puji mas Xavier.
"Lha saya perhatikan, sampean juga relijius banget. Di katedral tadi, sampean katanya berdoa khusyuk, menyalakan lilin di depan patung Bunda Maria pula. Di saung Maria Kampung Sawah ini, juga sampean banyak bikin tanda salib. Saya terkejut, beneran, kok ada orang Eropa barat seperti sampean!"
"Jumlah kami sedikit. Di Belgia, yang ikut misa di gereja tiap minggu paling belasan. Itu juga kebanyakan priyayi sepuh. Saya dididik keluarga saya sejak kecil dengan ketat sehingga jadi seperti ini!"
Lalu mas Xavier menunjuk tulisan di tepi Saung Maria. "Tolong terjemahin dong!"
"Ia telah memberikan kepadamu air hidup."
"Wah, bener itu. Bener banget!"
"Yo wis, saya doakan sampean yo!" Ih, saya kok jadi ketularan relijius.
"Iya, saya doakan sampean juga!" jawab dia sambil mengajak berpelukan sejenak.

Saat para tamu kami bawa masuk ke gereja, mas Xavier makin "parah" relijiusnya. Di depan salib besar dia membuat tanda salib, juga di depan tabernakel, wahana menyimpan seratusan lebih relikwi, dan di depan relikwi St Servatius. Saya, orang Asia, yang masih bejibun dosanya dibikin takjub dah!

Saya bersyukur, siang itu, meski kondisi saya sedang lowbat,acara penyambutan tamu berlangsung lancar. Kasih sayang rekan-rekan sangat menguatkan saya, terutama senior saya Bung .R Jacob Napiun, yang siang itu kerja rangkap jadi ojek VIP buat saya. Para tokoh Kampung Sawah pun cukup komplet, dari bang Marvianus, sang tokoh muda penjaga seni Kampung Sawah, Kiai Sudirman, Gus Achmed Al Munawi dari Al Azis, para tokoh dari GKJ, pendeta William Alexander dari GKP, bu Dian Niman, sampai Pak Remigius Hardono, pengurus MUB Jatiranggon. Masih banyak tokoh lain. Akhirnya, saya harus menyebut "adik" saya, bung Aru Elgete, tokoh muda Gusdurian, yang jauh2 dari Bekasi Utara, bisa nyelip manis di antara para penerima tamu.,

Saat pamit, mas Xavier kembali memeluk saya hangat. "Au revoir, mas!"

 

Eko Praptanto

Woiii, umat Paroki Servatius. Kalo pada punya berita apa kek, poto apa kek, kegiatan apa kek, mao nyang lingkungan, apa nyang kategorial bisa ditongolin di media, kirim aja ke : parokisantoservatius@gmail.com