Asal-Usul Sedekah Bumi di Kampung Sawah


Oleh: Eko Praptanto & Sulistiantoro

Minggu, 17 Mei 2009, akan diadakan Misa Inkulturasi Betawi di Paroki Santo Servatius, Kampung Sawah, Bekasi. Bila tidak ada aral melintang, misa yang akan dimulai pukul 08.30 WIB tersebut akan dipersembahkan oleh Yang Mulia Uskup Agung Jakarta, Monsigneur Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ. Seusai Misa, setelah diberkati Bapa Uskup, umat seperti biasa bisa menikmati aneka penganan, dan makanan khas Kampung Sawah, sebagai bentuk rasa syukur atas hasil bumi. Inilah acara Sedekah Bumi ala Kampung Sawah!

Ngaduk Dodol Lambang Silaturahim

Selain keriaan berbagi hasil bumi berupa makanan khas Kampung Sawah, seperti kue abug, ubi rebus, singkong rebus, kacang rebus, dan lain-lain, acara akan dimeriahkan oleh Lagu-Lagu Benyamin S. Dan, tak boleh dilupa, yang akan menjadi “primadona” acara Sedekah Bumi kali ini adalah acara Ngaduk Dodol.

Ngaduk Dodol, karena membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 7 jam, akan dimulai jauh sebelum misa, yaitu sejak subuh (Baca: Ngaduk Dodol dan GAirah Iman). Ngaduk Dodol, tak cuma sebuah ritual menghasilkan penganan, namun ada begitu banyak nilai-nilai iman dan kemasyarakatan yang bisa dipetik. Ada nilai silaturahim, gotong-royong, kerja keras dan harmoni.

Sedekah Bumi adalah tradisi asli Kampung Sawah, yang telah berlangsung sejak lama. Bagaimana asal-mulanya?

 

Sedekah Bumi dan Babaritan

Sedekah Bumi adalah tradisi masyarakat dalam mensyukuri berkah panenan yang diberikan Tuhan kepada umatnya. Dahulu, dalam lingkungan orang-orang Kampung Sawah, acara ungkapan syukur ini lebih dikenal dengan sebutan “bebaritan”, yaitu sebuah upacara animisme kuno memohon keselamatan kepada sang dengaeng, dedemit, atau si penunggu di suatu tempat tertentu.

Pada acara ini, orang-orang berkumpul di suatu tempat, biasanya tempat-tempat “angker” yang diyakini penduduk sebagai tempat sang dengeang itu. Semua makanan yang dibawa orang-orang ini dicampur dan diletakkan berjejer dengan alas daun pisang yang lebar dan panjang. Setelah makanan terjejer dan tersusun, orang-orang mengambil tempat, berbaris sejajar dengan makanan yang sudah disusun tadi. Kemudian pemimpin upacara yang berdiri paling ujung memulai upacara dengan doa-doa. Setelah doa selesai, masing-masing orang mengambil makanan yang berada di hadapannya dan memakannya bersama-sama. Inilah pesta rakyat saat itu.

Rakyat bersuka ria atas berkah yang telah diterima. Kemudian kesempatan itu mereka manfaatkan untuk acara makan bersama. Musik diperdengarkan, tari-tarian dan hiburan lain dipentaskan. Saat ini acara bebaritan sudah tidak terlihat lagi. Acara bebaritan terakhir kali terjadi kira-kira pada tahun 1963/1964 atau 40 tahun yang lalu! Akan tetapi, dalam bentuk yang lebih modern, masyarakat menyelenggarakan acara-acara yang intinya kurang lebih sama dengan bebaritan ini. Dengan panggung dangdut, misalnya.

 

Sedekah Bumi di lingkungan gereja

Upacara Sedekah Bumi yang pertama kali dilangsungkan dalam lingkungan gereja terjadi 72 tahun yang lalu, ketika Pastor Oscar Cremers, OFM menggembalakan umat paroki Kampung Sawah. Kala itu Bapak Poespasoepadma, guru dan katekis yang sangat dekat dengan umat Kampung Sawah berhasil membujuk pastor untuk memberkati panen padi umat. Sang pastor setuju. Maka terjadilah sebuah upacara Sedekah Bumi di halaman rumah Bapak Yafet Napiun dan Bapak Nias Pepe.

Kala itu bentuknya sederhana: pemberkatan panen dan pembagian sebagian panenan itu kepada para penderep, orang-orang yang membantu si empunya sawah untuk memetik panenan. Tradisi ini kemudian juga dilaksanakan dalam wujud persembahan dalam ekaristi dimana umat menyerahkan hasil buminya secara langsung kepada Tuhan dalam misa kudus di gereja. Kelapa, durian, nangka, rambutan, singkong, padi, dan berbagai hasil bumi lain adalah sebuah pemandangan yang jamak ditemui pada persembahan-persembahan di Gereja Kampung Sawah saat itu.

Acara Sedekah Bumi kemudian dikembangkan  menjadi sebuah upacara khusus di Gereja Kampung Sawah sekitar tahun 1996. Kebetulan pemilihan tanggal 13 Mei sangat tepat karena berbarengan dengan pesta Santo Servatius, pelindung Gereja Kampung Sawah yang baru ditetapkan pada tahun yang sama. Biasanya pada tanggal itu, diadakan misa inkulturasi Betawi. Dengan dekorasi, busana, tari-tarian dan lagu bernuansa betawi, umat merayakan upacara Sedekah Bumi ini dengan khidmat. ]

Dalam persembahan, dihantarlah aneka hasil bumi dan bermacam-macam makanan. Tari-tarian mengiringi aneka persembahan itu. Kemudian ketika selesai misa, umat disambut dengan pesta rakyat yang meriah.

Begitulah asal-usul acara Sedekah Bumi. Tahun ini akan dirayakan dengan sedikit istimewa pada tanggal 17 Mei 2009.

Woiii, umat Paroki Servatius. Kalo pada punya berita apa kek, poto apa kek, kegiatan apa kek, mao nyang lingkungan, apa nyang kategorial bisa ditongolin di media, kirim aja ke : parokisantoservatius@gmail.com